MAKALAH AGAMA HINDU "WIWAHA"




MAKALAH


 


“Wiwaha”


O L E H :

Putu Gunawan
Kelas   : XII. IPS.2



SMA NEGERI 1 LADONGI
TAHUN PELAJARAN 2017/2018








KATA PENGANTAR

“Om Swastyastu”
Asung Kertha Wara Nugraha saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat rahmatnyalah kami dapat menyelesaikan makalah  ini yang berjudul “Wiwaha” selesai tepat pada waktunya.
Tentu saja dalam penyelesaian makalah  ini saya selaku penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu saya sehingga makalah  ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya.
Saya menyadari makalah  ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu saya mohon saran dan kritik dari pembaca demi menyempurnakan makalah  ini di kemudian hari.

“Om Shantih, Shantih, Shantih Om”



Ladongi, September 2017



Penulis









DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .....................................................................................................          i
DAFTAR ISI....................................................................................................................         ii


BAB  I   PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang ...........................................................................................         1
B.      Rumusan Masalah ......................................................................................         1
C.      Tujuan ........................................................................................................         1
                                                                                                         
BAB  II PEMBAHASAN
A.     Pengertian Pawiwahan................................................................................         2
B.      Tujuan Wiwaha Menurut Agama Hindu.....................................................         3

BAB III PENUTUP
A.     Kesimpulan.................................................................................................         6
B.      Saran...........................................................................................................         6

DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Perkawinan adalah adanya ikatan antara dua orang, pria dan wanita secara lahir bathin, bertujuan membentuk rumah tangga bahagia. Perkawinan berhubungan erat dengan agama, Perkawinan bukan hanya mempunyai unsur jasmani tapi juga rohani.
Wiwaha identik dengan upacara yadnya menyebabkan hukum hindu juga sebagai dasar persyaratan dalam pelaksanaan perkawinan. Legalnya upacara perkawinan harus ditandai dengan pelaksanaan ritual, yaitu upacara wiwaha minimal upacara byakala.

B. Rumusan Masalah
            Dalam pembuatan makalah ini kami menentukan beberapa pokok permasalahan yang kami jadikan sebagai acuan dalam proses penyusunannya nanti. Adapun masalah-masalah yang akan kami kemukakan adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian Pawiwahan?
2.      Apa Tujuan Wiwaha Menurut Agama Hindu?

C. Tujuan
            Dari berbagai permasalan diatas kami memiliki suatu dasar atau tujuan yang ingin kami capai dalam penyusunan makalah ini. Adapun tujuan yang telah kami tentukan yaitu :
1.      Untuk mengetahui pengertian Pawiwahan
2.      Untuk mengetahui Tujuan Wiwaha Menurut Agama Hindu



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian   Pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata   pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata  wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian   pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian   pawiwahan tersebut antara lain :
  1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1, dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi :
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.”
  1. Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut :
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.” (Subekti, 1985: 23).
  1. Menurut Wirjono Projodikoro, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).
  2. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut, maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah social institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. Tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
  3. Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan. Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja, menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu, dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara adat menggunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka. (Sumiarni, 2004:4).
  4. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan sekala  niskala  (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa :  pawiwahan adalah ikatan lahir batin (sekala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh Hukum Negara, Agama dan Adat.

B.       Tujuan  Wiwaha Menurut Agama Hindu
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan - tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut :
Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya.” (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).   
Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan Pendidikan Agama pada Keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal berikut, yaitu :
  1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña  dapat dilaksanakan secara sempurna.
  2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña  dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
  3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.        
            Lebih jauh lagi, sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.  Sesuai dengan Undang - Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Maka dalam Agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102  sebagai berikut :
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa Agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal, maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut :
“Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal.”  ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan  wiwaha menurut Agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa : pawiwahan adalah ikatan lahir batin (sekala dan  niskala ) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh Hukum Negara, Agama dan Adat.
Dapat disimpulkan pula bahwa tujuan  wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
Sementara itu, perceraian dalam Hindu, selain berdasarkan keputusan pengadilan, keputusan dari Hukum Adat Bali juga berperan penting dalam mengesahkan perceraian itu. Dalam proses perceraian, pasangan yang akan bercerai harus menyelesaikan perceraian secara adat dahulu, baru kemudian dapat mengajukannya ke pengadilan untuk mendapat keputusan. Sedangkan  hak asuh anak dalam Agama Hindu diatur dan disesuaikan dengan peraturan di negara yang bersangkutan.

B.       Saran
Sebelum melakukan perkawinan hendaknya dipikirkan dengan matang, agar tidak sampai terjadi adanya perceraian. Dan apabila terpaksa menggunakan jalur perceraian, hendaknya memikirkan dampak baik dan buruknya terhadap hubungan Anda, keluarga, diri sendiri, dan mental anak (jika sudah punya anak).



DAFTAR PUSTAKA

https://naathing.blogspot.co.id/2013/12/makalah-agama-hindu.html
Baca Juga
Wayan Suastika, S.Pd
Wayan Suastika, S.Pd

Seorang Guru Kelas SD Negeri 1 Wia Wia, Kabupaten Kolaka Timur Provinsi Sulawesi Tenggara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar